Semua itu Bisa Selesai dengan Ucapan “Sudah Tradisi"

Tradisi pernah jadi bahan marketing iklan biskuit. Dihidangkan sebagai camilan atau teman minum teh sore hari dari generasi ke generasi. Biskuit tersebut hadir, entah dari mana lalu menetap jadi bagian dari keluarga. KBBI sendiri mengartikan tradisi sebagai “adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat.”

Yang paling seru dalam dunia parenting adalah ketika tradisi bertemu diagnosa dokter. Tradisi di keluarga saya, kalau masuk angin ya kerokan. Meskipun dokter keluarga saya tidak menentang kerokan, tapi kalau anak sakit ya minum obat. Kalau sakit batuk, minumnya jeruk nipis pakai kecap. Obat herbal dan cara penyembuhan tradisional kerap jadi tradisi. Kalau diprotes generasi mama muda sekarang, jawaban para nenek ini enteng, “sudah tradisi.”

Seiring kemajuan zaman, yang namanya tradisi biasanya hilang. Misalnya tradisi sembahyang Imlek dan bulan hantu. Tradisi bersih-bersih kuburan saat Ceng Beng. Ketika yang tua sudah tiada, yang muda juga tidak melanjutkan. Apalagi kalau jadi masalah ketika berhubungan dengan agama, seperti ketika sembahyang Imlek. Saya sering ditanya kenapa mengajarkan tradisi tersebut dan membiarkan anak ikut sembahyang pakai hio padahal kami berdua agamanya Kristen Protestan. Jawaban saya ya karena hal tersebut merupakan tradisi. 

image by freepik

Nenek saya masih Konghucu, dan meninggal saat mama saya masih sekolah. Saya tidak pernah bertemu Nenek kecuali ketika kami sedang sembahyang. Ada fotonya, ada kue-kue di meja yang konon merupakan makanan kesukaan Nenek. Nenek minumnya teh, karena selalu ada teh di meja sembahyang. Ketika Kakek meninggal, fotonya ikut dipajang walaupun Kakek juga sudah beragama Katolik. Lalu ada tambahan kopi di mejanya. Soalnya kakek suka minum kopi.

Ketika anak-anak dan cucu berkumpul, biasanya cerita tentang kakek dan nenek akan muncul. Anak saya akan bertanya kakek seperti apa. Soalnya saya masih bertemu kakek hingga SMA. Ketika Imlek datang, saya harus bangun super pagi karena harus mampir ke rumah kakek sebelum ke sekolah. Saat itu Imlek belum jadi hari libur nasional dan memang tidak dirayakan secara terbuka. Kakek akan selalu berpakaian rapi, siap menyambut kedatangan para cucu dengan angpao merah di tangan. Waktu itu, karena masih kecil, ya saya kurang paham juga artinya merayakan Tahun Baru Cina. Yang jelas itu “sudah tradisi”.

Sekarang, saya bersyukur bisa menjalankan tradisi sembahyangan ini karena saya jadi bisa bercerita tentang kakek kepada cicit-cicitnya. Kalau kakek itu suka main catur, lalu kalau ternyata beliau adalah orang terpelajar dan terkenal di desanya dulu. Jangan tanya daerah asalnya, soalnya saya juga tidak paham. Hanya tahu dari ceritanya kalau desanya jauh di pedalaman Cina sana. 

Hari ini, tradisi bukan hanya bertarung dengan agama dan diagnosa dokter, tetapi juga dengan Mbah Google. Anak sekarang makin kritis, kalau diminta melakukan sesuatu pasti banyak pertanyaan yang diajukan. Misalnya ketika wajib makan bakmi di hari ulang tahun, karena konon bikin umur panjang. Di Google tidak ada penjelasan memuaskan selain menerka-nerka hubungan antara bakmi dan usia. Tidak masuk akal dan logika memang. Tapi ya, “sudah tradisi.” 


Comments

Popular Posts