Delay Gratification Membantu Kecerdasan Emosional Anak

Menurut ensiklopedia Britannica, delay gratification adalah “tindakan menolak dorongan untuk segera mengambil imbalan yang tersedia saat ini, dengan harapan memperoleh imbalan yang lebih bernilai di masa depan.” 

Karena saya akhir-akhir ini bekerja sebagai marketing, maka yang pertama terpikirkan adalah flash sale. Ketika barang yang hendak kita beli ada di bawah label “flash sale” pada situs e-commerce langganan, maka kita langsung berpikir ini saatnya kita self-reward. Mumpung murah, dibeli saja. Sayangnya, ketika ada promo payday, harga barang tersebut jadi lebih murah, plus kita dapat cashback yang bisa digunakan untuk belanja barang lainnya. Jadi sebal. Coba kita mau menunggu sejenak.

Begitu juga dengan anak. Saya sering dicurhatin ibu-ibu yang anaknya tidak bisa menunggu. Mau mainan harus dibelikan sekarang. Mau pergi ya harus sekarang. Kalau tidak, anaknya tantrum. Delay gratification di sini berarti mengajarkan anak bahwa dengan menunggu kita bisa mendapatkan hadiah lebih banyak. Misalnya kalau beli mainan sekarang hanya dapat satu. Kalau belinya nanti setelah berhasil mendapat nilai bagus, mainannya akan jadi dua. Ini akan mengajarkan anak untuk menunggu.

Baking cookie itu perlu kesabaran.

Lah, tapi anak saya masih balita, emang paham beginian? 

Justru karena anak masih balita, kita harus mengajarkan delay gratification ini agar ketika besar bisa mengontrol diri dan tidak jadi impulsif. Psychologist Walter Mischel, pengarang buku The Marshmallow Test: Mastering Self-Control, mengatakan bahwa delay gratification dapat diterapkan di semua usia. Experiment marshmallow ini sendiri dilakukan pada anak usia 4-5 tahun, dan sebagian dari anak-anak tersebut dapat menahan diri untuk tidak memakan marshmallow di depan mata agar mendapat satu marshmallow lagi setelah menunggu beberapa waktu.

Eksperimen ini dimulai ketika Walter yang ketika itu masih mengajar di Stanford memperhatikan ketiga putrinya yang berusia antara 2 hingga 5 tahun. “Dan saya melihat kemajuan luar biasa, yang tentunya juga dilihat setiap orang tua, di mana anak-anak mereka berubah dari tidak memiliki kompetensi pengendalian diri, menjadi, ketika mereka berusia 4 atau 5 tahun, mampu mengendalikan diri dengan cukup baik dalam banyak situasi, dan bahkan melakukan hal-hal seperti menunggu hidangan penutup,” jelas Walter dalam tanya jawab yang dipublikasikan di website American Psychological Association.

Delay gratification di dunia serba instan ini gampang-gampang susah untuk dilakukan. Kita sendiri jika belanja online atau memesan makanan, inginnya datang instant. Semuanya butuh cepat dan segera. Jadi, memang untuk menerapkan delay gratification sebagai bagian dari hidup ini tidak mudah. 

Caranya tentu berbeda di setiap anak. 

Untuk anak yang masih kecil, kita bisa mengajak main game.atau memasak. Kalau ingin makan sekarang, tentunya adonan kue yang masih mentah yang bisa dimakan, tapi dengan menunggu, kita bisa makan kue yang enak. Anak usia SD bisa berlatih dengan reward lebih besar, misalnya liburan atau mainan yang harganya lumayan jika anak berhasil mencapai nilai bagus  Selain kita bisa menabung untuk membeli mainan atau biaya liburan tersebut, anak juga belajar delayed gratification. 

“Anda tidak dapat mengharapkan anak-anak menunda kepuasan jika Anda melanggar janji Anda sendiri kepada mereka,” sebut Walter. Dari delay gratification, anak juga bisa belajar tentang konsekuensi. Ajak anak untuk menunggu bersama-sama karena anak lebih banyak mencontoh orang tuanya. Kita sama-sama menunggu kue untuk matang. Kita juga menanti-nantikan liburan kok, tetapi harus menunggu juga karena Mama kan kerja. Contohkan juga ketika kita sedang mengantri bayar di supermarket. Ungkapkan bahwa terkadang kita juga tidak sabar, dan tidak sabar itu wajar. Namun bukan berarti kita tidak bersedia menunggu untuk sebuah hasil.

Adakah lagi yang bisa dilakukan bersama-sama? Well, ada beberapa teknik yang bisa dilakukan untuk melatih delay gratification. Ketika kita menunggu, bukan berarti diam. Misalnya bisa menabung bersama di celengan, membuat itinerary dan sama-sama menyelesaikan tugas sebelum tenggat waktu. Mama bekerja, anak belajar untuk ujian. Begitu juga dengan menunggu kue matang. Bisa sambil membereskan mainan, membaca buku atau melakukan hal lain yang produktif.

Delay gratification berguna untuk membangun kecerdasan emosional anak. Konsep tersebut mengajarkan anak untuk sabar, berpikir panjang, tidak impulsive dan meningkatkan kemampuan akademis anak. Ketika dewasa, mereka juga lebih bisa mengatur emosi dan disiplin diri. Banyak manfaat jangka panjang yang bisa didapatkan. Jadi, yuk, kita coba sekarang.

Comments

Popular Posts