Premeditatio Malorum: Mempersiapkan Diri untuk Hal Terburuk yang Terjadi

What’s the worst that can happen?

Pertanyaan itu sering hadir ke saya. Dan sering saya lemparkan ke lawan bicara saya juga. Emang apa sih hal terburuk yang bisa terjadi?


Ketika mencari tahu tentang Stoicism, saya menemukan istilah Premeditatio Malorum, yang kurang lebih artinya membayangkan hal-hal buruk yang bisa terjadi sama kita. Ya itu, what’s the worst that can happen. Ini sebenarnya bertentangan dengan positive mindset yang selama ini sering digaungkan oleh lingkungan sekitar saya. Yang mengajarkan bahwa kita harus melihat hal positif biar yang positif datang ke kita. Ngomongin yang buruk-buruk itu pamali katanya.

Well, saya menyebutnya managing expectation. 

Kalau kita terlalu positif, begitu nggak kejadian sesuai harapan, kita kecewa. Kalau kita terlalu negatif, yang ada overthinking ketakutan sendiri. Jadi yang tengah-tengah aja. Premeditatio Malorum tetap harus dijalankan untuk antisipasi, tapi tidak untuk dikhawatirkan terus menerus sehingga mengganggu perjalanan hidup kita. Kalau yang terjadi positif kan kita jadi bersyukur, kalau yang terjadi negatif, ya kita sudah lebih siap.

Untungnya si Dudu kalau makan gampang, meski yang dimakan kadang aneh...

“Anak gue nggak mau makan nih. Disuapin malah disembur-sembur.”

Okay, what’s the worst that can happen? Dia kelaparan, lalu menangis. Lalu mau makan karena lapar? Bisakah kita handle itu? Kita kasih makan yang bisa dimainkan, lalu berharap ada yang tertelan jadi dia makan? Yang paling parah ya tetap ini anak akan kelaparan. Mungkin tantrum, mungkin jadi mau makan. Kalau kita bisa handle tantrum, ya udah dibiarkan saja nggak makan. Handle tantrum ini bukan cuma anaknya lho, termasuk teguran dari orang tua yang menyalahkan kita karena anak kita menangis.

Kalau tidak terjadi ya syukurlah. Kalau ternyata terjadi, kita sudah siap karena di kepala kita sudah ‘latihan’ menghadapi tantrum dan teguran orang tua.

Premeditatio Malorum bukan satu-satunya aplikasi teori Stoicism yang pernah saya jalani. Values Stoicism ada beberapa: Courage, Temperance, Justice dan Wisdom. Dan banyak yang menganggap bahwa Stoicism ini identik dengan tidak memiliki emosi. Soalnya ya tadi, pas kita kena sial (anak tantrum plus diomelin orang tua contohnya), kita tidak bereaksi emosional secara berlebihan. Meskipun sebenarnya karena kita sudah siap, tapi buat yang melihat bisa saja bilang ini tidak punya hati. Anak nangis kok “tidak bereaksi”.

Journaling juga adalah aplikasi teori Stoicism. 

Epictetus, salah satu Filsuf Stoicism menyarankan kepada murid-muridnya untuk menulis setiap hari. Journaling ini berguna bukan hanya untuk mencatat, tapi juga healing. Dari menulis jurnal kita bisa banyak belajar tentang apa yang terjadi, yang mungkin bisa jadi pegangan untuk apa yang harus kita lakukan di sama depan.

Kembali ke masalah anak tidak mau makan tadi. Mungkin dengan mencatat kapan anak menolak makan, apa yang terjadi sebelumnya, makanan apa yang kita berikan dan hal-hal lain, kita akan menemukan sebuah pattern. Dan pattern tersebut adalah jawaban kenapa anak jadi suka mainin makanan.

Lalu aplikasi teori Stoicism lain yang pernah saya aplikasikan adalah memisahkan apa yang sebenarnya ada dalam kontrol kita dan apa yang bukan. Di kasus si anak nggak mau makan, sebenarnya si ibu curhat lebih panjang. Yang dia lakukan pertama adalah mengomeli anak tersebut. Anaknya nangis karena diomelin (yang menurut dia nangis akting) tapi dia jadi ditegur si nenek. “Jangan galak-galak sama anak.”

Di kesempatan berikutnya dia mendiamkan. Bodo amat anak mau makan apa nggak. Setelah ngobrol dengan saya katanya haha. Lalu yang ada kena tegur Nenek juga, karena anaknya makan berantakan kok didiamkan. Lah, ditegur salah, nggak ditegur salah juga. Ya gimana dong? Yang namanya reaksi kan bukan kontrol kita. Jadi ya ini saatnya kita memilah-milah mana yang bisa kita kendalikan. Tapi ya sesuai apa yang diajarkan teori Stoicism.

Courage, Temperance, Justice dan Wisdom. 

Berani memilah. Karena yang dipilah ini adalah reaksi Nenek, yang notabene ibu kandung kita. Berani mengambil resiko kalau kita dituduh kualat. Temperance berarti dilakukan secara in moderation atau tidak berlebihan. Ya ada komentar Nenek yang kita abaikan, ada yang kita tanggapi secara baik. Ada yang mungkin bisa jadi masukkan, ada yang, duh, mendingan nggak usah didengerin. Justice ini melakukan hal yang benar. Benar menurut kita dan sesuai dengan kebutuhan kita. Dan terakhir wisdom. Soalnya tanpa wisdom, yang tiga values lainnya tidak akan berjalan dengan baik.

Postingan kali ini berat ya? Haha.

Tapi kalau dilakukan, sepertinya bisa membuat hidup kita lebih ringan. Well, at least buat saya begitu.

Comments

Popular Posts