Bagaimana Menghadapi Komentar Judgmental?

Ibu-ibu, saya mau minta pendapatnya dong. Saya dan suami ingin anak-anak kuliah di luar negeri. Sementara menurut Bapak saya, di Indonesia juga banyak yang bagus. Katanya nanti kalau kuliah ke luar negeri, lupa pulang (maaf Bapak emang agak kolot orangnya). Bagaimana ngomong ke Bapak ya biar beliau tidak sakit hati, soalnya si sulung sudah keterima di universitas luar negeri? Ibu saya sudah tidak ada, jadi orang tua memang tinggal Bapak saja. Saya jadi takut mudik Lebaran ini, takut ditanya Bapak.

Dilema si ibu ini tentunya menuai pro dan kontra, dari yang memihak si bapak, memihak si ibu dan suaminya, sampai yang di luar konteks seperti, “anaknya bisa kuliah itu mbok ya disyukuri. Di grup ini banyak lho yang hanya mampu menyekolahkan anaknya sampai SMA saja.”

Eh, kok nggak enak bener sih komennya?
Pernah dapat komen serupa? Lagi cerita terus kena judging? Menanggapinya bagaimana?

Pertama-tama, tarik nafas dulu. Ingat, apapun yang dilakukan, pasti ada komen nggak enaknya. Mau anak kuliah di dalam negeri, luar negeri, bahkan sekedar kuliah pun ada yang nyinyir. Ada yang pernah curhat ke saya, mau minta restu berangkat kuliah ke luar kota malah dimarahi eyangnya. “Ngapain kamu kuliah? Lanjutin aja itu usaha bapakmu kasian dia sudah tua.” Waduh, kasian.

Sama dengan masalah sehari-hari yang dihadapi para Mama. Mau ASI atau sufor. Mau masukin anak sekolah umur berapa? Anak gampang makan nanti gendut, anak picky eater nanti kurang gizi. Saya dan Dudu sering main PS berdua. Kalau saya cerita, pasti ada komen yang isinya ‘kuliah’ tentang efek gadget dan game pada anak.

Kedua, jangan biarkan komentar judgmental ini mencegah kita menjadi ibu yang terbaik buat anak-anak. Terbaik menurut versi kita sendiri. Mereka yang komentar biasanya tidak kenal kita secara pribadi atau kurang memahami latar belakang dan alasan kita memutuskan hal tersebut. Jadi abaikan saja komentar-komentar ini, terutama bila terjadi di dunia maya atau grup WA/Telegram yang anggotanya ratusan

Bagaimana kalau terjadi di circle kita sendiri? Di komunitas atau misalnya di grup WA keluarga? Emosi sudah pasti, apalagi kalau topiknya sensitif. Tapi bukan berarti kita jadi benci sama yang komentar. Tarik nafas, lalu senyumin. Kalau memang pada saat itu kita tidak bisa merespon dengan baik ya mendingan jangan merespon. Saya pernah dikritik karena tidak membatasi waktu penggunaan gadget pada Dudu. Dia bebas main kapan saja, yang penting PR beres, ujian nggak jeblok dan kewajiban lainnya seperti cuci piring dan angkat jemuran tidak diabaikan. Kritikan langsung hanya saya balas dengan senyum, komen di grup WA hanya saya jawab “hehehe”. Selesai.

Aaaaa... cuekin aja komentarnya, Ma.

Ketiga, ketika kita sudah siap, mungkin kita bisa menemukan sisi lain komentar judgmental tersebut. Kalau ada yang
komentar kita kurang bersyukur, mungkin kita perlu melihat apakah kita sudah bersedekah dengan benar. Mungkin ada yang sebenarnya bisa kita lakukan untuk membantu mereka yang kurang beruntung. Kalau saya diserang soal ijin pemakaian gadget, mungkin juga ada yang harus saya evaluasi. Tapi bukan berarti saya akan evaluasi hehe. But it’s nice to have such reminders.

Keempat, take a break. Kalau komentar tersebut ternyata membuat kita down atau membuka luka lama, tidak ada salahnya kita istirahat dari media sosial atau WA grup yang merupakan lokasi kejadian. Dan pasti akan ada yang komen juga ketika kita tetiba ‘menghilang’ dari pertemanan karena sebuah komentar. Tapi it’s okay kok buat jadi baper. Different people took comments differently. Take your time to heal and come back stronger.


Comments

  1. Kalau pendapatku, masalah anak ini memang kerap menuai pro dan kontra. Tapi judulnya "anak" ya, pendapat yang terbaik adalah dari Ibu serta Ayahnya yang merestui dan mendoakan.
    Karena ini menyangkut kuliah dan masa depan, pastikan mendahulukan pendapat ananda yang akan menjalani. Apakah sudah siap dengan semua rintangan yang mungkin menghadang?

    Intinya, orangtua hanya mampu mendoakan. Kebahagiaan tetap masing-masing yang menjalani. Abaikan komentar jika tidak memberi solusi.

    ReplyDelete
  2. memang kita harus abaikna komentar .toh yang menjalani kan kita, mereka cuma penonton

    ReplyDelete
  3. Ga akan ada habisnya dengan orang2 yg suka berkomentar judging seenaknya. Aku sendiri beberapa kali dapat komen begitu di DM mba. Tapi terkadang aku liat2 dulu sih. Kalo memang tidak terlalu menyudutkan, aku tanggapin baik. Tapi kalo sampe kasar dan keterlaluan, aku ga segan utk block dia dari circle ku.

    Cuma kalo menyangkut anak, jujurnya kami hanya melibatkan pendapatku dan suami dalam hal ini. Jarang sampai ke orangtua. Dan papa mamaku juga biasanya support aja apapun keputusan kami asalkan baik.

    Tapi seandainya mereka keberatan, pastilah kami bakal berusaha utk trus berbicara baik2, tapi tetep keputusan utama ada di tangan kami berdua. Nah kalo utk orang yg Julid tadi dalam berkomentar, lupakan ajalah 😂. Ga penting juga orang yg begitu..😁

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts