Mengajarkan Anak Berbuat Baik

Postingan hari ini terlahir dari sebuah pertanyaan: “Bagaimana cara kamu membalas budi jika orangnya sudah tidak ada baik karena meninggal atau tidak diketahui keberadaannya.” Jawabannya: dengan meneruskan kebaikan. Alias dengan menolong orang lain lagi tanpa mengharapkan pamrih. Soalnya kita sudah ditolong duluan.

Namun konsep ini lumayan sulit dimengerti dan diterapkan, bahkan bagi kita yang sudah dewasa. Ah, apa untungnya buat gue? Gue nggak dapet apa-apa dong padahal kan gue udah melakukan sesuatu. Istilah populernya, “nggak cuan.” Lalu, bagaimana mengajarkan konsep ini kepada anak-anak kita?


Pertama, ya dengan memberi contoh. Mengajarkan kepada anak itu yang paling kena adalah dengan memberi contoh. Jadi, sebagai orang tua, saya berhenti mengungkit-ungkit susahnya saya mengurus anak seakan-akan dulu dia yang minta dilahirkan. Karena saya sudah diurus orang tua saya dengan baik, maka saya mengurus anak saya dengan baik. Papa saya selalu bilang dulu dia diasuh kakeknya ketika kecil. Jadi ketika saya pulang ke rumah sebagai ibu tunggal, dia santai aja mengurus si cucu. Jadi dari Papa, saya dan anak saya belajar bahwa ketika kita berbuat baik, itu karena orang lain sudah duluan berbuat baik untuk kita.

Kedua, membalas kebaikan itu tidak harus kepada orang yang sama. Ketika saya menolong anaknya teman mengerjakan tugas bahasa Inggrisnya, hal ini saya lakukan karena ada teman lain yang menolong anak saya mengerjakan pe-er matematikanya. Kenapa nggak langsung dibalikin ke teman yang ngajarin matematika? Ya si teman itu sudah dikirimin kue sih haha. Tapi kan kalau orang berantem itu nyawa dibayar nyawa, kalau nyawa sudah melayang, kita balas dendamnya ke orang lain. Nah, buat saya, kebaikan juga sama. Bentuk kebaikannya sama, ngajarinnya ke orang lain. Konsep begini lebih mudah dipahami oleh anak saya karena lebih konkrit. Kalau saya bilang “kamu hutang budi tuh sama tante X coba dibalas budinya,” kan jadi abstract. Bagaimana cara balas budi? Budi itu seperti apa? Kalau saya jelaskan, “kamu sudah diajarkan matematika sama tante X, sekarang itu oma perlu bantuan diajarin pakai Google, coba dibantu,” efeknya langsung terasa nyata.

Gampang ditulis, susah dilaksanakan. Tapi yang paling sulit adalah memulainya, lalu konsisten melakukannya. Mengajarkan kepada anak-anak kita bahwa kebaikan itu tidak berhenti ketika yang melakukannya berpulang atau hilang. Kebaikannya yang kita terima tetap ada dan wajib kita teruskan kepada orang-orang lainnya.


Comments

Popular Posts