Komunikasi Efektif dengan Anak
“Kita sering lupa kasih tahu kenapa.” Satu kalimat dari kelas berjudul Komunikasi Efektif Tingkatkan Percaya Diri yang diadakan oleh Single Moms Indonesia bersama Coach & Trainer Erkelin Sjarifah ini serasa reminder keras saya sebagai orang tua. Yes, kita sering sibuk melarang, sibuk menyuruh tanpa memberi tahu alasannya. Dan ini ternyata bisa menjadi masalah.
Satu bagian dari kelas tersebut membahas Komunikasi Efektif dengan anak. Hubungannya sama meningkatkan percaya diri apa? Well, saya pernah menemukan mama-mama yang ragu-ragu apakah bisa membesarkan anak dengan baik. Ragu-ragu apakah keputusan yang diambilnya benar. Jadi Mama tapi kok kurang pede. Ada yang karena nggak pede, insecure akhirnya cepet senewen dan komunikasi ke anak jadi bubar.
Bagaimana komunikasi yang efektif dengan anak? Beda umur anak tentunya beda cara pendekatan. Tapi ada beberapa poin yang dapat digunakan untuk berbicara dengan anak, agar pesannya tersampaikan.
Pertama, perhatikan nada bicara. Nada yang terdengar marah dan membentak biasanya tidak efektif. Sebuah studi yang dipublikasikan di The Journal of Child Development pada tahun 2014 menyebutkan bahwa berteriak pada anak memiliki efek yang sama dengan memberikan hukuman fisik. Lebih parah lagi sebenarnya, karena membentak anak ini malah menunjukkan bahwa kita ‘kalah.’ Bingung mau ngapain lagi, frustrasi lalu akhirnya ya anak dibentak atau diberi tahu tapi dengan nada tinggi. Jadi, next time hendak memberi tahu anak, selalu waspada dengan nada yang kita gunakan.
Anak sudah diberi tahu kok masih bandel? Well, ini poin kedua, yaitu “kita sering lupa kasih tahu kenapa.” Biasanya kalimat “tuh kannnn” dan sejenisnya lebih sering keluar ketika kita kesal karena anak melakukan kesalahan atau sepertinya dengan sengaja melakukan hal yang kita larang. Take a step back dan coba berpikir bahwa anak mungkin penasaran. Next time kita melarang anak melakukan sesuatu, mungkin perlu sekalian dikasih tahu sebab dan akibatnya. “Jangan makan sambel soalnya sambal itu pedas, nanti kamu sakit perut,” akan lebih efektif daripada hanya sekedar “jangan makan sambel.”
Eh tapi ya, sebaiknya kita hindari kata “jangan”. Kalimat “jangan makan sambel” di atas bisa jadi malah meng-encourage anak untuk makan sambel.
Kalau berbicara sama anak sebaiknya turun ke level yang sama dengan tinggi badan anak dan tatap matanya. Jangan sambil lalu, sambil nonton apalagi sambil main gadget. Letakkan gadget dan ajak anak berbicara dengan serius. Untuk yang ini, kita bisa compare ke diri sendiri. Kalau diajak ngobrol sama temen tapi dia sambil main gadget atau melakukan hal lain kan kitanya juga jadi malas mendengarkan. Anak juga sama.
Sebenarnya komunikasi dengan anak ini cukup mudah. Apalagi kita sendiri sudah pernah merasakan jadi seorang anak. Hanya saja, kita sering lupa untuk take it seriously, karena lawan bicaranya seorang anak. Tapi sekarang udah tahu rahasiannya kan?
Satu bagian dari kelas tersebut membahas Komunikasi Efektif dengan anak. Hubungannya sama meningkatkan percaya diri apa? Well, saya pernah menemukan mama-mama yang ragu-ragu apakah bisa membesarkan anak dengan baik. Ragu-ragu apakah keputusan yang diambilnya benar. Jadi Mama tapi kok kurang pede. Ada yang karena nggak pede, insecure akhirnya cepet senewen dan komunikasi ke anak jadi bubar.
Bagaimana komunikasi yang efektif dengan anak? Beda umur anak tentunya beda cara pendekatan. Tapi ada beberapa poin yang dapat digunakan untuk berbicara dengan anak, agar pesannya tersampaikan.
Halo, bisa ngobrol sama Mama? |
Pertama, perhatikan nada bicara. Nada yang terdengar marah dan membentak biasanya tidak efektif. Sebuah studi yang dipublikasikan di The Journal of Child Development pada tahun 2014 menyebutkan bahwa berteriak pada anak memiliki efek yang sama dengan memberikan hukuman fisik. Lebih parah lagi sebenarnya, karena membentak anak ini malah menunjukkan bahwa kita ‘kalah.’ Bingung mau ngapain lagi, frustrasi lalu akhirnya ya anak dibentak atau diberi tahu tapi dengan nada tinggi. Jadi, next time hendak memberi tahu anak, selalu waspada dengan nada yang kita gunakan.
Anak sudah diberi tahu kok masih bandel? Well, ini poin kedua, yaitu “kita sering lupa kasih tahu kenapa.” Biasanya kalimat “tuh kannnn” dan sejenisnya lebih sering keluar ketika kita kesal karena anak melakukan kesalahan atau sepertinya dengan sengaja melakukan hal yang kita larang. Take a step back dan coba berpikir bahwa anak mungkin penasaran. Next time kita melarang anak melakukan sesuatu, mungkin perlu sekalian dikasih tahu sebab dan akibatnya. “Jangan makan sambel soalnya sambal itu pedas, nanti kamu sakit perut,” akan lebih efektif daripada hanya sekedar “jangan makan sambel.”
Eh tapi ya, sebaiknya kita hindari kata “jangan”. Kalimat “jangan makan sambel” di atas bisa jadi malah meng-encourage anak untuk makan sambel.
Kalau berbicara sama anak sebaiknya turun ke level yang sama dengan tinggi badan anak dan tatap matanya. Jangan sambil lalu, sambil nonton apalagi sambil main gadget. Letakkan gadget dan ajak anak berbicara dengan serius. Untuk yang ini, kita bisa compare ke diri sendiri. Kalau diajak ngobrol sama temen tapi dia sambil main gadget atau melakukan hal lain kan kitanya juga jadi malas mendengarkan. Anak juga sama.
Sebenarnya komunikasi dengan anak ini cukup mudah. Apalagi kita sendiri sudah pernah merasakan jadi seorang anak. Hanya saja, kita sering lupa untuk take it seriously, karena lawan bicaranya seorang anak. Tapi sekarang udah tahu rahasiannya kan?
Comments
Post a Comment