Apakah Kamu Bahagia Jadi Seorang Ibu?

Apakah kamu bahagia jadi seorang ibu?

Pertanyaan ini ingin sekali saya lemparkan ke beberapa teman, yang kerap curhat tentang anak-anak dan suaminya. Tapi ada rasa takut juga mendengar jawabannya.

Seorang ibu kerap curhat kehilangan jati dirinya ketika punya anak. Kok bisa? Entahlah. Menurutnya ketika menikah dulu, dia sangat antusias memiilki anak. Tidak sabar jadi seorang ibu. Sekarang setelah anaknya ada lebih dari satu, dia merasa lebih sering lelah, marah dan tidak bahagia. Bukan salah anak-anaknya, dia sadar. Tapi bagaimana? Waktu bersama anak sekarang jadi beban, apalagi kalau mereka tantrum. Lalu kata banyak orang, anak tantrum karena ibunya tidak bahagia. Jadi gimana?

Image by our-team on Freepik

Apa yang membuat seorang ibu bisa bahagia. Di kasus ibu yang tadi, dia ingin punya ‘me time’ lebih sering dan itu yang gagal didapatkannya. Anak-anak yang kerap mencari ibunya dan menolak bersama pengasuh lain. Ayah yang sibuk mencari nafkah. Sang ibu jadi berkorban lebih banyak. Kok tidak sama kakek-nenek? Saya pernah bertanya, karena tahu bahwa orang tua si ibu sangat dekat dengan cucu-cucunya. Jawabannya sedikit mengagetkan saya, “karena anak-anak terlalu dimanja. Pas kembali ke rumah jadi tambah tantrum.”

Bahagia ‘me time’ yang sejenak itu tidak worth it kalau harus ditukar dengan mengedukasi ulang anak-anak setelah pulang dari rumah kakek-nenek. Untuk bahagia memang ada harga yang harus dibayar. Toh, sebenarnya kakek-nenek sayang cucunya. Kita juga dulu mungkin begitu, dan orang tua kita yang protes.

Tapi saya jadi berpikir bahwa bahagia sebagai ibu ini adalah hal yang kompleks. 

Bukan hanya satu dua hal, tetapi mencakup perasaan secara keseluruhan sebagai manusia. Punya waktu untuk menjadi diri sendiri, tapi tidak punya uang cukup untuk biaya hidup juga pasti tidak bahagia. Punya anak yang tidak sempurna, padahal anaknya sudah ditunggu lama juga pasti tidak bahagia. Punya uang banyak, tetapi suami tidak ikut berperan jadi ayah sesuai harapan juga pasti tidak bahagia. Mungkin, untuk jadi bahagia, ekspektasi harus dikurangi.

Maksudnya?

Jaman sekarang, banyak saingan. Scrolling media sosial memberikan kita akses ke kehidupan ibu-ibu lain yang sepertinya jauh lebih bahagia. Kok anak ibu A sudah bisa main piano padahal masih TK. Eh itu ibu B sekeluarga liburan ke Jepang. Ibu C dapat hadiah cincin berlian dari suaminya pas Hari Ibu. Sejuta kebahagian ada di luar sana, siap jadi konsumsi publik. Lalu kita sendiri merasa tidak bahagia.

Kunci bahagia adalah bersyukur. 

Jadi ibu yang bahagia itu berarti kita jadi seorang ibu yang bersyukur. Bagaimana mau bersyukur kalau me time saja tidak bisa? Well, terkadang tidak bisa itu adalah self-sabotage yang dibuat sendiri. Kita yang takut mendobrak kebiasaan yang membuat kita berada di comfort zone. Lalu mengeluh bahwa kita tidak bahagia. Padahal pintunya ada dan kita yang tidak mau membukanya. Kalau saya bilang begini biasanya teman-teman saya protes karena “anak lo kan cuma satu.” Hahaha. Ya, kan yang sana punya suami, sementara saya membesarkan anak sendirian.

Anyway, bagaimana caranya bersyukur? Saya journaling. Sama ketika dulu awal-awal punya anak kita membuat pregnancy journal yang mencatat perkembangan janin, dan catatan perkembangan anak. Bersyukur bahwa semuanya berkembang dengan baik. Sekarang juga begitu. Di setiap satu keluhan, saya mencoba ada pembanding. Anak menumpahkan cat air, tapi saya bersyukur dia mengenali warna merah. Atau ketika membereskan makanan anak, yang sudah terbang ke penjuru rumah, saya bersyukur anak bisa makan sendiri. Meskipun akhirnya bikin ekstra kerjaan mengepel dan menyapu. Fokus ke hal yang positif.

Kalau sudah punya jurnal syukur, coba lepaskan yang tidak bisa kita kendalikan. Kalau kita mencoba membentuk anak sesuai dengan masterplan kita, pasti frustasi karena tidak pas. Kita mau anak jadi feminin dengan rok tutu, les balet dan rambut panjang berpita. Ternyata pas SD anaknya tomboy, masuk ekskul sepakbola dan rambutnya cepak. Yang ada kita kecewa dan tidak bahagia. Padahal anak-anak ya adalah manusia sendiri, bisa punya kesukaan dan cita-citanya. Tugas kita sebagai ibu kan membantu. Anak bahagia, kita juga bahagia.

Begitu juga dengan pengasuhan kakek-nenek. Akan ada masa di mana mereka lebih sayang kakek-nenek karena semua di-iya-kan sementara kita kebagian tantrum dan jadi penjahat karena sibuk melarang. Namun, kalau memang ini jalan satu-satunya untuk bisa me time dengan tenang, kenapa tidak dilakukan saja? Secara konsisten diajarkan bahwa keluarga berbeda punya peraturan berbeda. Silahkan bermanja pada kakek-nenek, namun ketika kembali sama ibu dan ayah ya kembali ke peraturan kita. Tidak instant namun saya yakin ini bisa dilakukan.

Apakah saya bahagia jadi seorang ibu? Entahlah. Setelah punya anak selama 18 tahun, kata ‘bahagia’ ini juga masih banyak syaratnya. Setidaknya saya tahu bahwa saya bisa dan mau bahagia. Saya bisa membuat diri saya bahagia dan saya tahu apa yang bisa membuat diri saya bahagia.

Comments

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Oh mungkin ini ya yang dimaksud teman-teman saya tiap kali kasih nasihat ke saya, nikmati dulu waktu singlenya, nanti kalau udah nikah dan punya anak susah ngapa-ngapain :,(

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts