Mendukung Cita-Cita Anak, Bagaimana Caranya?

Apa cita-cita anakmu? 

Anak saya dulu pernah bercita-cita jadi pemancing ikan, sebelum akhirnya ingin jadi pembuat game. Sekarang anak saya mau kuliah English Literature and Film Studies. 

Keponakan saya pernah bercita-cita jadi kucing, sebelum akhirnya mau jadi balerina. Ini juga mungkin berubah lagi karena dia masih TK. 

Anaknya teman saya punya cita-cita jadi polisi, lalu jadi Youtuber. Sekarang mau kuliah aerospace engineering. 

Cita-cita seringkali berubah.

Saya dulu ingin jadi fashion designer, lalu jadi pendeta, lalu jadi assasin (yang dilupakan ketika saya pakai kacamata minus) dan akhirnya kuliah jurnalistik sebelum akhirnya kerja di bidang marketing dengan segudang kegiatan berkomunitas. 

Kalau ditanya apakah cita-cita saya tercapai? Entahlah. Cita-cita saya apa ya kemarin itu? 

Bagaimana kita mendukung cita-cita anak? Sebagai orang tua, saya berusaha memfasilitasi. Pertama dengan memberikan fasilitas untuk eksplorasi. Kalau anak mau jadi nelayan, ya di dukung dulu. Bisa jadi nelayan yang di masa depan bukan sekedar mendorong kapal dan melempar jala di laut. Bisa jadi CEO startup perikanan atau juragan kapal. Begitu juga kalau cita-cita anak jadi Youtuber, ya jangan langsung di-shut down. Apalagi kalau itu gara-gara kita mau anak jadi dokter. 

Sebenarnya yang red flag adalah memproyeksikan cita-cita sendiri kepada anak. Contohnya adalah ketika kita menganjurkan anak untuk jadi pilot, padahal itu sebenarnya cita-cita kita yang tidak kesampaian karena satu dan lain hal. Walaupun ada sisi positifnya juga sih. Di kasus saya, papa punya cita-cita kuliah di luar negeri namun tidak kesampaian karena keterbatasan dana dan perannya sebagai sandwich generation. Cita-cita ini kemudian diproyeksikan pada anak-anak yang wajib kuliah di luar negeri. Karena inilah saya berkesempatan untuk mengambil jurusan jurnalistik yang saat itu masih lumayan langka di Indonesia. 

Kedua, memfasilitasi dengan dana. Iya semua memang butuh uang. Di Amerika, Anak-anak yang ingin kuliah harus mengambil student loan sendiri. Berhutang untuk S1 lalu membayar hutangnya setelah lulus. Di Indonesia, tidak begitu. Saya sebagai orang tua berusaha mendukung cita-cita anak dengan membayarkan kuliahnya jadi mereka bisa belajar dengan tenang tanpa hutang. Kenapa kuliah? Soalnya saya berpikir bahwa SMA itu masih terlalu general meskipun sudah ada penjurusan. Kuliah lebih dekat dengan cita-cita walau ya, banyak juga yang kerjanya jauh dari jurusannya dulu. 

Ketiga adalah memfasilitasi dengan ikhlas. Maksudnya adalah tidak melihat semua ini sebagai investasi masa depan bahwa kalau anak sukses, kita akan kecipratan hasilnya. Bukan memfasilitasi cita-cita anak biar bisa ikut pamer di arisan ibu-ibu, atau biar ikut nongol di media. Bukan juga agar di hari tua kita ada jaminan. Cita-cita anak Seniman, yang identik dengan hidup pas-pasan, lalu kita tidak setuju bukan karena takut anak hidup susah, tapi karena kita bisa keseret hidup susah. 

Kalau membiayai anak sampai selesai kuliah adalah kewajiban, ketika anak bekerja berarti sudah bukan tanggung jawab saya. Cari uang sendiri dan hidup sendiri. Intinya kan itu. 



Comments

Popular Posts