Pentingnya Afirmasi dalam Parenting

Konon, afirmasi bisa merubah diri. Segitu powerfull-nya kalimat positif membantu kita menghadapi perasaan, pikiran dan situasi yang negatif. Tapi kalimat positif tidak bisa merubah keadaan dan apa yang terjadi di sekitar kita. Yes, betul. Hanya saja kan ada yang bilang bahwa yang penting itu adalah hal-hal yang bisa kita kontrol, yang tidak dalam kuasa kita ya biarkan saja. Nah, afirmasi ini gunanya untuk mengatur “how do you feel about something,” alias perasaan kita.

Saya menggunakan aplikasi Presently sebagai alat untuk mencatat hal-hal baik yang terjadi hari itu. Lalu setelah seminggu atau sebulan saya bisa melihat kembali hal-hal apa yang saya syukuri. Trik ini cukup berguna, terutama ketika sedang berhadapan dengan hal-hal negatif. List hal positif dan rasa syukur yang tertulis dapat membantu saya ingat bahwa ada masanya naik dan turun. Lalu, karena setiap sebelum tidur saya mewajibkan diri mengisi presently, maka saya tidur dengan hal-hal baik yang ada di pikiran. 

Bagaimana kalau tidak ada hal baik terjadi hari itu, alias lagi apes banget? Well, kalo orang jawa suka bilang “untungnya.” Jadi saya mencari apa hikmah yang bisa didapat dari kejadian buruk yang terjadi seharian. Atau cukup menuliskan, bersyukur bisa mengakhiri hari, masih hidup dan bisa rebahan di kasur. Mensyukuri sesuatu tidak perlu hal besar, pencapaian kecil pun bisa jadi syukur. Soalnya kalau kita fokus di hal negatif, nanti hidup kita jadi ikut negatif.

Hubungannya apa sama parenting? Coba disimak cerita berikut ini.

Ibu A dan ibu B sama-sama memiliki anak balita, yang ditunggu-tunggu setelah menikah lama. Setiap hari penuh kerepotan karena si balita tipe yang aktif dan penuh rasa ingin tahu. Bangun pagi sulit, berangkat sekolah juga banyak dramanya. Padahal anaknya senang sekolah dan berteman, namun ya namanya juga pagi hari di sebuah keluarga kecil. Kedua orang tua sama-sama mengantar-jemput anaknya sekolah. Kedua Ibu sama-sama ibu rumah tangga. Anaknya juga sama-sama perempuan. Apa yang berbeda?

Ketika di akhir hari ditanya “how was your day?”, kedua ibu memiliki jawaban berbeda.

  • Ibu A menceritakan bahwa anaknya belajar origami di sekolah dan bekalnya habis dimakan. Pulang sekolah, si anak tidur siang dan sorenya nonton TV. Hari ini berlalu seperti biasa, cenderung membahagiakan karena bekal yang habis dimakan.
  • Ibu B mengeluhkan anaknya yang sulit dibangunkan sehingga terlambat ke sekolah. Pulang sekolah langsung main padahal belum ganti baju. Sorenya nonton TV tidak mau disuruh berhenti. Hari ini melelahkan sekali. 

Padahal, ketika ditanya, bekal anak ibu B juga habis dan anak ibu A juga tidur siang tanpa ganti baju. Dan sore harinya, kedua anak sama-sama nonton TV dan sulit dikasih tahu untuk berhenti. Tapi ceritanya kok berbeda? Jawabannya karena afirmasi. 

Ibu A berpikir bahwa dirinya sudah melakukan yang terbaik sebagai seorang ibu, mengusahakan anaknya bangun pagi, menyukai bekal, tidur siang cukup dan bisa tenang nonton TV sementara dirinya membereskan pekerjaan rumah. Tidak harus sempurna dalam segala hal. Sementara Ibu B justru berpikir bahwa menjadi ibu ternyata sulit dan stressful. Apa yang dilakukan kok tidak pernah berhasil dan sepertinya dia tidak kompeten untuk menjadi seorang ibu. Akibatnya, Ibu B jadi lebih rentan terhadap kritik yang dilontarkan keluarga dan lingkungan.

Dengan membuat jurnal, sebenarnya kita dapat membaca ulang apa yang terjadi hari itu dan melihatnya dari perspektif berbeda. Sama seperti novel, kalau tadinya kita sebagai karakter di novelnya, sekarang kita jadi pembaca. Bisa menganalisa dan menyikapi sesuatu dari jarak yang jauh. Sebenarnya, jadi bisa berpikir lebih jernih juga.


Comments

Popular Posts