Mengatasi Cemas Akan Opini Orang Lain Terhadap Pola Asuh Anak

“Anak gue kurus ya?”

Pertanyaan ini sering saya dapatkan di beberapa bulan terakhir, ketika banyak teman yang melahirkan. Biasanya saya jawab dengan standar, “nggak ah, emang kenapa lo mikir gitu?” Jawabannya beragam, tapi menuju ke sebuah kesimpulan yang sama.

  • Bapak A: Kemarin si dedek dibawa mertua ke tukang sayur. Ketemu ibu-ibu. Terus pulang-pulang mertua bilang kalo si dedek dibilang kurus. Kalah gemuk sama cucunya ibu Y.
  • Ibu B: Soalnya nyokap kemaren bilang kok kayak nggak bulet gitu mukanya. Anaknya sepupu gw bulet banget soalnya.
  • Ibu C: Tante gue bilang pipinya kurang chubby buat baby 3 bulan. Dulu gue pas seumur anak gw, gemesin banget katanya.
Tapi kalau ditanya, apakah berat badan si anak bermasalah, semua jawabannya sama: Masih di dalam batas aman grafik DSA-nya kok.

Masalahnya di mana dong?

Ternyata, masalahnya ada di kekhawatiran kita akan opini orang lain, atau yang sekarang namanya FOPO (alias fear of people’s opinions). Rasa cemas terhadap opini orang lain ini berakibat kita cenderung menggunakan segala cara agar dapat bisa diterima oleh orang-orang tersebut. Padahal, jika kita ingin menjadi ibu yang sukses dan bahagia, FOPO ini justru menghalangi kita untuk melakukan yang terbaik.

Kenapa opini orang lain begitu penting untuk hidup kita? Soalnya manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial. Begitu kita jadi Ibu, social circle kita bisa bertambah luas. Misalnya, saat posting foto melahirkan atau ulang tahun anak, pasti banyak yang mengucapkan selamat, mengirimkan hadiah, harapan, serta doa. Namun pasti ada juga yang berkomentar atau beropini sendiri. Masalahnya, seringkali yang komentar numpang lewat adalah orang-orang terdekat, yang membuat kita malah jadi kepikiran.

Image by drobotdean on Freepik

Jadi, ini caranya agar bisa jadi ibu yang bebas dari FOPO.

Sadari bahwa kita punya negativity bias. Komentar yang negatif akan lebih menempel daripada komentar yang positif. Jika ada yang komentar tentang anak kita yang kurus, biasanya ini bikin kepikiran. Komentar tentang anak kita yang cantik, rambutnya lebat, atau matanya besar, semua hanya lewat sambil lalu saja. Kalau sudah begini, tanyakan kepada yang komentar, apa alasannya?

Misalnya anak kita dibilang kurus. Tanyakan kenapa si tetangga, tante atau siapapun yang berkomentar, sampai berpikir anak kita kurus. Mungkin pipinya terlihat tirus dari anak-anak seusianya. Atau mungkin pas digendong terasa ringan? Setelah itu dipikirkan apakah ini hal yang bisa kita kendalikan, atau memang masuk akal untuk ditindak lanjuti. Anak kita kurus, tapi DSA bilang berat badan cukup. Ya kita bisa tenang.

Rasa takut tidak diterima oleh lingkungan adalah wajar. Tapi jangan sampai rasa takut ini menghalangi kita untuk berkembang atau mencoba hal baru. Gaya parenting kita berbeda dengan ibu-ibu lain, jadi kita sering tidak sejalan dengan geng kesayangan. Perbedaan terbesar saya dengan ibu-ibu pada umumnya adalah penggunaan gadget. Saya termasuk yang cukup santai soal penggunaan gadget, selama anak saya tidak meninggalkan tanggung jawabnya. Kalau sudah berbeda opini begini, saya terkadang memilih diam daripada jadi benturan dengan teman-teman.

Yang saya lakukan adalah: (1) banyak berbicara dengan diri sendiri untuk mengetahui value yang saya pegang. Kenapa ini penting? Karena dengan mengetahui value apa yang dimiliki, kita bisa jadi lebih percaya diri. Kalau kita percaya diri, kecil kemungkinan untuk takut terhadap opini orang lain. (2) Ganti lingkungan baru dengan orang-orang yang lebih positif. Ini termasuk mengurangi scrolling media sosial agar tidak terpapar opini public di luar sana.

Ketika berikutnya ada yang berkomentar, “kok anak lo kurus ya?”, mundur dulu selangkah dan pertimbangkan apakah orang yang komentar ini berkontribusi pada hidup kita. Lalu, apakah komentarnya penting untuk hidup kita ke depannya. Dengan begini, kita bisa mengurangi ketakutan akan dampak opini orang lain pada hidup kita.

Comments

Popular Posts