Update Trend Tentang Parenting

Sudah lama tidak update blog yang ini. Kenapa ya? Alasan utamanya sih karena memang tidak tahu mau menulis apa lagi soal Parenting. Akhir-akhir ini isu yang muncul lebih kepada isu general yang bisanya ditaruh di blog yang satu lagi. Sambat yang sering ada juga general. Ya, sebenarnya ini hanya alasan sih. 

Mau dibilang waktu, blog yang satunya jalan terus. Mau dibilang writer's block, Saya masih bisa ikutan tantangan menulis di media sosial. Mungkin itu ya, menulis pendek lebih gampang. Yang panjangnya hanya sekitar 100 sampai 200 kata. Sementara postingan blog ini karena mengikuti challenge jadi harus minimal 1000 kata. 

Nulis apa lagi nih? 

Ngomong-ngomong soal update blog, sebagai orang tua kita juga harus update dengan issue yang ada di dunia Parenting. Lagi ada apa yang trending? Ada apa yang harus diwaspadai? Dan karena ini adalah blog parenting jadi updatenya nggak bisa cuma soal curhat kenapa blog ini jadi separuh hiatus. 

Image by Freepik

Yuk, Coba kita intip di Google, ada trend apa di luar sana. 

Bring back family dinner

Di Amerika, kampanye untuk makan malam bersama keluarga sedang gencar-gencarnya. Antara anggota keluarga yang sibuk, gadget yang semakin maju dan mendominasi waktu, makan bersama di Satu meja hampir sudah tidak pernah dilakukan. Sebenarnya di Indonesia juga mirip sih. 

Kenapa sih makan bersama ini penting? Ada yang bilang alasannya uang. Makan bersama di rumah, masak kan lebih hemat daripada jajan di luar. Tapi sebenarnya bukan itu. Makan bersama ini identik dengan waktu yang dihabiskan bersama-sama. Ketika makan bersama, tentunya tidak dengan gadget di meja, kita punya waktu untuk catch up dan ngobrol. Quality time seperti ini sudah jarang karena semakin majunya teknologi. Ah, bisa chat atau telepon. Lupa, bahwa pertemuan tatap muka tetap penting adanya.

Mental health issue

Mental health tidak pernah hilang dari trend, termasuk ketika bicara parenting. Salah satu yang sering muncul adalah masalah "good enough parent." Menjadi orang tua yang sempurna. Tuntutan dan standar yang ada di lingkungan seringkali membuat kita berpikir berulang kali, hingga meragukan diri sendiri. Jadi bolehlah kita ingat untuk tidak memasang standar orang lain di apa yang kita lakukan. 

Dengan adanya pilihan, kita jadi mempertimbangkan ulang rasa syukur yang tadinya ada. Yang tadinya cukup, sekarang kurang. Mengejar kesempurnaan yang ukurannya entah dari siapa. Ibu bekerja lebih baik dari ibu rumah tangga? Atau sebaliknya? Sekolah negeri atau sekolah swasta? Eh, sekolah internasional sekalian? Wah, tidak ada habisnya kalau mengikuti ideal versi netijen. Gimana nggak kena mental jadi ibu kalau begitu?

Tidak ada salahnya mencari bantuan, atau gantian jika ada pasangan. Ambil me time biar tetap waras. Jangan menghukum diri sendiri kalau tidak mampu. Jadi ibu memang bukan hal mudah, kok. Setiap orang memiliki pengalaman yang berbeda dan tidak ada satu standar yang paling benar, tentang bagaimana bertindak sebagai orang tua. Ya katanya kan kesempurnaan ini hanya milik Tuhan dan Andra and the Backbone.

Penggunaan Gadget bisa jadi pemicu

Beda pengasuhan dengan orang tua

Yang ini sebenarnya bukan trend google tapi sering terdengar di sekitar saya. Ada yang pulang ke rumah orang tua setelah perubahan besar dalam hidupnya, misalnya perceraian atau suami meninggal. Lalu membutuhkan bantuan orang tua sebagai partner mengurus anak. Ada juga yang jadi tinggal dengan orang tua atau mertua setelah punya anak karena membutuhkan pengawas pengasuh anak akibat ayah-ibu yang bekerja. 

Ini menimbulkan konflik tersendiri. Zaman sudah berubah. Situasi dan kondisi kita pun berbeda dengan ketika orang tua mengasuh kita dulu. Jaman sekarang ada gadget, dan para cucu ini sudah lebih akrab dengan teknologi daripada kakek neneknya. Teknologi yang baru ini bisa jadi sama menariknya untuk cucu dan kakek-nenek, sementara buat kita sebagai orang tua, teknologi bisa jadi musuh. 

Atau jika ibu kita dulu adalah seorang ibu rumah tangga, sementara kita wanita karir. Tentu pandangannya mengenai pengasuhan anak akan berbeda dengan apa yang kita yakini. Begitu juga dengan sebaliknya. Kalau dulu kita diasuh ibu bekerja, sementara sekarang kita ibu rumah tangga, tentunya akan ada perbedaan cara pengasuhan anak. 

Lalu apa dong yang harus dilakukan? Jika kita masih membutuhkan mereka, tentunya ya wajib kompromi di tengah. Akan sulit karena kakek-nenek cenderung memanjakan cucu. Padahal dulu ketika kita kecil, mereka galak setengah mati sama kita. Sekarang seperti malaikat penyelamat cucu dari amukan kita. Hargai yang mereka lakukan. Ajak berbicara dan set ekspektasi di depan.

Sandwich Generation siapa yang utama? 

Akhir-akhir ini sering terdengar konsep "sandwich generation," alias generasi kejepit. Sudah punya keluarga sendiri tapi masih harus membiayai orang tua. Akibatnya cukup panjang. Ada yang uangnya jadi tidak cukup, tapi takut durhaka. Ada yang meskipun cukup, jadi tidak bisa menabung. Ini bisa membuat konflik antara pasangan, terutama bila hanya 1 orang tua yang disupport. 

Saya pernah mendapat keluhan dari seorang teman yang terpaksa menurunkan standar sekolah anaknya, hanya karena suaminya adalah sandwich generation. Masih harus mengirimkan uang bagi orang tua, men-support kuliah adiknya dan membiayai keluarga sendiri. Jadi tidak ada dana untuk membayar uang pangkal anak di sekolah idaman. 

Ini lalu menimbulkan pertanyaan lanjutan yang sering juga jadi perdebatan. Apakah anak adalah investasi? 

Tapi sepertinya ini akan jadi perdebatan di lain waktu. 

Anggap saja ini sandwich ya

Toxic Parenting ini apa? 

Sepertinya topik ini muncul karena jadi trending di media sosial. Lalu banyak yang mencari arti serta pemaknaannya. Intinya, toxic parenting adalah pola pengasuhan yang menyebabkan psikologis anak terluka. Biasanya dilakukan tanpa sadar. 

Contohnya? Mudah meluapkan emosi pada anak, terutama marah. Lalu merasa bersaing dengan anak. Ada seorang teman yang merasa orang tuanya berubah setelah dia lulus kuliah dan mulai bekerja. Jadi lebih sering dimarahi, semua serba salah dan omongan orang tua jadi tidak enak. Usut punya usut, ini disebabkan karena sekarang dia sudah bisa cari uang sendiri dan bisa berkontribusi untuk biaya rumah. Ternyata orang tua merasa tersaingi karena sudah bukan satu-satunya provider di keluarga. 

Tidak masuk akal memang. Tapi ada yang begitu. 

Rasa tersaingi ini kemudian melebar dengan ketakutan orang tua bahwa anaknya yang sudah mandiri ini sudah tidak bisa dikontrol lagi. Padahal di mata orang tua, anak ya selamanya anak. Sama dengan trend nomer 3 tadi, beda pengasuhan dengan orang tua menjadi sulit karena kita statusnya anak. Kalau orang tua kita toxic ya semakin tamat. 

Kalau sudah tau seperti apa orang tua yang toxic itu, sebaiknya kita jangan sampai menjadi seperti itu. Soalnya toxic parenting ini bisa menurun. Terutama karena kita mengimitasi apa yang kita alami ketika anak-anak. Bagaimana saya sebagai orang tua sekarang, sedikit banyak belajar dari bagaimana gaya pengasuhan orang tua saya dulu. 

Nah, sekarang blog ini sudah update. Se-update pemiliknya dengan trend parenting di luar sana. 




Comments

Popular Posts