Berteman Sama Anak. Apa Efek Negatifnya?

Kemarin, ada yang bilang sama saya “Elo sama Dudu tuh relationship goal gue lho.” Trus saya jadi terharu. Lalu teman saya itu bertanya hal yang selama ini nggak pernah terpikirkan: “negatifnya apa sih temenan sama anak?”

Hah? Apa ya?


Jadi partner membasmi zombie di Indonesia Comic Con
Jadi partner membasmi zombie
Yah, sejujurnya, hubungan BFF gini kan bukan rencana saya ya. Seperti dijelaskan di postingan satunya, saya dan Dudu ‘berteman’ by accident. Karena saya yang belum siap jadi nyokap, lalu memilih jadi teman, dan usia saya yang nggak terlampau jauh juga sama si anak.

Tapi iya lho, negatifnya apa?

Sepanjang perjalanan dari naik gerbang tol Ancol sampai exit di Tanjung Priok saya berpikir. Nggak lama sih sebenernya, itu cuma sekitar 3 km doang haha. What’s the downside of this kind of mother-and-son relationship? 


(baca juga cara berteman baik sama anak)

Well, secara internal, tidak ada. Sampai saya menulis blog ini, sekitar 3 hari setelah percakapan di jalan tol itu, saya belum menemukan jawabannya. Memang sih, ada beberapa concern dari lingkungan sekitar tentang saya dan Dudu yang lebih seperti best friend dibandingkan ibu dan anak.


Yang pertama adalah Responsibility. Saya ini lebih mirip kakaknya daripada Mamanya Dudu. Saya cuek, dan soal keseharian Dudu lebih banyak diurus oleh Oma dan Opanya. Lalu tanggung jawab saya sebagai seorang ibu ada di mana?

(1) Finansial. Semua keperluan Dudu saya yang bayar. Saya sering bilang, kalo nggak ada Dudu, mungkin saya sudah pensiun kerja kantoran dan jadi blogger aja sambil senang-senang. Jadi jurnalis freelance atau penulis novel full-time. Masalahnya, karena saya kelewat santai, banyak yang nggak percaya kalau soal duit, saya nggak disponsorin orang tua. Apalagi saya single parent. Huhuhu kan sedih ya. Cuma akhirnya bodo amat sih haha. Nggak penting juga kan ya saya pamer soal membiayai anak saya sendiri. Bukannya emang udah wajib?

(2) Moral. Meskipun banyak diurus orang tua, saya sudah menetapkan dari awal bahwa Dudu anak saya. Untungnya orang tua saya satu visi dan misi. Ya emang gaya parenting saya kan juga turunan ya, jadi syukurlah kita semua satu suara. Meskipun lebih banyak bersama orang tua saya, tapi Dudu selalu minta ijin saya untuk hal-hal yang major. Orang tua saya selalu menyuruh dia minta ijin saya dan menolak mengambilkan keputusan untuk Dudu. Jadi untuk urusan Dudu, saya tidak hilang influence sebagai orang tua juga.

Makanya, di rumah, saya dan Dudu jadi beneran kayak kakak-adik kalau Mama saya sudah mulai ngomel-ngomel soal baju yang ditaruh sembarangan atau AC yang lupa dimatikan haha.
“Nggak Mamanya, nggak anaknya, sama aja ini!”
Eh iya Ma, maap. Lupa dong saya kalau udah jadi emak-emak.
HAHAHAHA.

Tips menjadikan anak penurut
Tips menjadikan anak penurut adalah mendengarkan dan menghargai pendapatnya.
Yang kedua adalah Respect. Masalah nurut dan durhaka. Banyak tante dan om yang khawatir kalau Dudu ini kurang ajar karena saya memperlakukannya sebagai teman. Beberapa artikel yang saya baca juga tidak menyarankan hubungan teman yang setara karena dikhawatirkan orang tua akan sulit mendisiplinkan atau menghukum anak. Hm… kayaknya saya dan Dudu sedikit berbeda.

I taught him right from wrong but I respect him as an individual. Saya (dan orang tua saya) mencontohkan disiplin dan Dudu meniru. Disiplin Dudu bukan hasil ajaran tapi hasil nyontek gaya parenting super strict, super planning ala Papa, yang turun ke saya, dan akhirnya ke Dudu juga. Saya tidak memberikan hukuman tapi saya mengajarkan konsekuensi. Nilai jelek ya tidak bisa main game. Tidak bisa main game bukan hukuman, tapi konsekuensi karena nilai jelek mengakibatkan waktu yang bisa dipakai main jadi dipakai belajar. Ya kan nilainya jelek berarti belajarnya kurang.

Kalau memutuskan makan di mana, saya biasanya tanya dulu lalu “ngambek” ketika keputusan Dudu tidak sesuai dengan keinginan saya. Hahahaha. Jadi Mama kok tidak ada wibawanya. 

Saya jarang memaksa Dudu mencoba makanan dengan ancaman ‘tidak nurut orang tua’. Biasanya yang terjadi begini:
“Cobain ini.”
“Tidak mau. Saya tidak suka sayur. Seperti Mama kan, kata Oma, dulu Mama juga tidak suka sayur.”
“Seperti Oma juga dulu, Mama sekarang memaksa kamu makan sayur. Nanti kalau kamu sudah besar, silahkan gantian maksa anak kamu makan sayur.”
Dan sambil manyun, sayurnya dimakan.

Atau melakukan sesuatu.
“Dudu, mandi.”
“Saya Mager, Ma.”
“Yang begini nih, alamat dijauhin cewek karena bau badan dan jerawatan.”
“Mama sendiri belum mandi.”
“Mama nggak cari pacar. Kamu kan ada gebetan yang bakalan pergi kalau kamu jorok.”
Ujung-ujungnya, saya diamkan juga si Dudu pergi mandi. Hahaha.

Hilang wibawa? Nggak juga kan? Toh, anaknya melakukan yang saya minta, tanpa saya harus teriak-teriak bahwa dia nggak nurut dan durhaka. Sekarang, dia malah jadi lebih bertanggung jawab dan dewasa karena harus ngurus Mamanya yang kalo weekend bangunnya siang, jadi dia yang menyiapkan sarapan.

Banyak juga yang khawatir anak akan memanfaatkan keadaan pertemanan dan tidak menggubris orang tuanya. Jadi begini, meskipun saya dan Dudu berteman, Dudu sadar bahwa saya bekerja cari uang untuk hidup enak kita berdua. 
Jadi respect ini timbul dari rasa bersyukur. Something like kalo kita temenan sama orang nih, trus kita bersyukur bisa temenan sama dia, kan nggak mungkin kita manfaatin dia? Kayaknya gitu ya. Sejujurnya saya sotoy. Ya intinya begitu deh. Saya jarang melarang Dudu, biasanya hanya memberi tahu dan karena dia percaya sama saya jadi biasanya dia nurut. Kalau tidak percaya biasanya dia akan mendebat. Seperti percakapan yang sering terjadi ini: 

“Emang ini Mama? Mungkin ini sebenarnya kakak, Du?”
“Tidak akan ada yang percaya, Ma. Mama sudah terlihat seperti ibu-ibu.”

Ngeselin.

Comments

  1. ya hrs dari kecil dibiasakan untuk disiplin , jangan bilang mereka belum mengerti tp kalau sdh menjadi kebiasaan , hasilnya baguslah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bener banget Mba. Kalo udah jadi kebiasaan lbh mudah.

      Delete

Post a Comment

Popular Posts