Belajar Parenting dari Kesalahan (Orang Lain)
Belajar dari kesalahan orang lain membuat kita belajar lebih cepat. Setuju?
Ah, baru aja saya nulis tentang kenapa mencintai diri sendiri lebih sulit daripada mencintai orang lain. Dan bagaimana kita kesulitan memaafkan diri sendiri, terutama ketika membandingkan kekurangan dan kesalahan kita dengan kesempurnaan orang lain. Sekarang ditanya soal belajar dari kesalahan orang lain.
Hm…
Sebagai mantan karyawan e-commerce yang kebagian ngerjain competitor study, saya banyak belajar dari ya, kompetitor. Kesalahan mereka, strategi yang mereka buat dan apa yang akan kita lakukan sebagai respon terhadap semua itu. Tapi di kehidupan pribadi saya sebagai seorang ibu, yang terjadi nggak begitu. Apa karena saya kurang kompetitif? Terlalu cuek? Entahlah.
Emang harusnya gimana? Ya, sebenarnya disesuaikan dengan keadaan dan kondisi rumah sih. Jangan langsung ekstrim memutus akses anak ke gadget. Coba bandingkan situasi rumah kita dengan rumah ponakan. Jangan ditelan mentah-mentah apa yang terjadi. Lihat juga apa yang kita anggap sebagai “kesalahan.” Mungkin karena keponakan bebas pakai gadget tanpa diawasi, jadi cuek dan kurang bertanggung jawab. Oh, jadi yang mau dibetulkan adalah “rasa tanggung jawab.” Kita fokus di sana. Menumbuhkan rasa tanggung jawab pada anak. Jadi fokus bukan di pemakaian gadget. Karena gadget ini hanya satu dari sekian banyak penyebab anak kurang bertanggung jawab.
Kesalahan orang lainnya bukan di pemakaian gadget tapi kegagalan menumbuhkan rasa tanggung jawab pada anak.
Belajar dari kesalahan orang lain ini adalah survival skill. Tapi mbok ya dikerjakan semampunya.
Lalu dia jadi stress sendiri. Kalau berangkat kantor jadi gelisah, takut anaknya lebih sayang si oma daripada dia. Apalagi ketika anaknya mulai kabur sembunyi di belakang oma kalau dimarahin si Mama. Jadilah mereka menabung. Tapi ya memang nasib, ketika sudah siap pindah ke apartment baru, teman saya ini hamil anak ke-2 dan akhirnya ya tetap tinggal sama oma-opa. Hahaha.
Kesalahan si teman mungkin bukan pada tinggal di mana. Tapi kepada si mama yang diam saja, atau tidak berani mendebat oma. Tidak berusaha negosiasi, pasrah dan akhirnya menenggelamkan diri ke keadaan. Padahal ada banyak jalan untuk kompromi. Kenapa nggak di coba dulu? Daripada langsung menjaga jarak dan menyimpulkan mereka beda pola asuh, mendingan ngobrol sama oma.
Ada banyak teman dan banyak pengalaman di sekitar kita. Belajar dari kesalahan orang lain membuat kita maju lebih cepat. Kalau di perusahaan, memang bagusnya begitu. Kalau di parenting? Well, saya lebih cenderung menikmati saja prosesnya termasuk kesalahan yang dibuat.
Ah, baru aja saya nulis tentang kenapa mencintai diri sendiri lebih sulit daripada mencintai orang lain. Dan bagaimana kita kesulitan memaafkan diri sendiri, terutama ketika membandingkan kekurangan dan kesalahan kita dengan kesempurnaan orang lain. Sekarang ditanya soal belajar dari kesalahan orang lain.
Hm…
Sebagai mantan karyawan e-commerce yang kebagian ngerjain competitor study, saya banyak belajar dari ya, kompetitor. Kesalahan mereka, strategi yang mereka buat dan apa yang akan kita lakukan sebagai respon terhadap semua itu. Tapi di kehidupan pribadi saya sebagai seorang ibu, yang terjadi nggak begitu. Apa karena saya kurang kompetitif? Terlalu cuek? Entahlah.
Kalau ditanya setuju apa nggak, jawabannya setuju. Meskipun ada “tapinya.”
Soalnya belajar dari kesalahan orang lain ini hitungannya benchmarking. Tapi ya jangan ditelan mentah-mentah atau bikin strategi ekstrim.“Gue liat ponakan gue nggak bisa lepas gadget. Ntar anak gue nggak boleh pegang hape ah.”Niatnya sungguh mulia. Pelaksanaannya gagal duluan. Karena di lapangan sulit menghindari paparan gadget kepada anak kecil. Si Ibu yang jadi pengasuh utama, tidak bisa lepas dari gadget. Si Ayah apa lagi. Lihat foto di gadget, video call kakek-nenek di gadget. Akhirnya si anak paham Youtube. Ujung-ujungnya jadi sebelas dua belas sama para keponakan. Karena ketika si Ibu burn out, akhirnya anaknya dikasih gadget juga.
Emang harusnya gimana? Ya, sebenarnya disesuaikan dengan keadaan dan kondisi rumah sih. Jangan langsung ekstrim memutus akses anak ke gadget. Coba bandingkan situasi rumah kita dengan rumah ponakan. Jangan ditelan mentah-mentah apa yang terjadi. Lihat juga apa yang kita anggap sebagai “kesalahan.” Mungkin karena keponakan bebas pakai gadget tanpa diawasi, jadi cuek dan kurang bertanggung jawab. Oh, jadi yang mau dibetulkan adalah “rasa tanggung jawab.” Kita fokus di sana. Menumbuhkan rasa tanggung jawab pada anak. Jadi fokus bukan di pemakaian gadget. Karena gadget ini hanya satu dari sekian banyak penyebab anak kurang bertanggung jawab.
Kesalahan orang lainnya bukan di pemakaian gadget tapi kegagalan menumbuhkan rasa tanggung jawab pada anak.
Belajar dari kesalahan orang lain ini adalah survival skill. Tapi mbok ya dikerjakan semampunya.
"Gue pokoknya habis nikah maunya tinggal sendiri. Nanti anak gue jadi anak oma."Teman saya yang trauma mendengarkan curhat soal ibu dan nenek yang berbeda pola asuh, bertekad keluar rumah setelah menikah. Agar nggak berantem sama nyokap katanya. Ujung-ujungnya begitu punya anak ya tinggal barengan orang tua lagi. Kenapa? Gajinya dan suami tidak cukup buat sewa apartemen plus nyicil mobil dan menggaji si suster.
Lalu dia jadi stress sendiri. Kalau berangkat kantor jadi gelisah, takut anaknya lebih sayang si oma daripada dia. Apalagi ketika anaknya mulai kabur sembunyi di belakang oma kalau dimarahin si Mama. Jadilah mereka menabung. Tapi ya memang nasib, ketika sudah siap pindah ke apartment baru, teman saya ini hamil anak ke-2 dan akhirnya ya tetap tinggal sama oma-opa. Hahaha.
Kesalahan si teman mungkin bukan pada tinggal di mana. Tapi kepada si mama yang diam saja, atau tidak berani mendebat oma. Tidak berusaha negosiasi, pasrah dan akhirnya menenggelamkan diri ke keadaan. Padahal ada banyak jalan untuk kompromi. Kenapa nggak di coba dulu? Daripada langsung menjaga jarak dan menyimpulkan mereka beda pola asuh, mendingan ngobrol sama oma.
Ada banyak teman dan banyak pengalaman di sekitar kita. Belajar dari kesalahan orang lain membuat kita maju lebih cepat. Kalau di perusahaan, memang bagusnya begitu. Kalau di parenting? Well, saya lebih cenderung menikmati saja prosesnya termasuk kesalahan yang dibuat.
Comments
Post a Comment