Komunikasi itu Empati dan Menyamakan Ekspektasi

Percakapan ini terjadi antar ibu-ibu di sebuah Whatsapp Grup. Bukan percakapan yang anomali antara ibu-ibu yang ada di dalamnya, tapi patut disimak.
Ibu A: Laki gue parah deh. Gue padahal nanya mau pilih kue yang mana buat ultah anak, malah dijawab terserah kamu.
Ibu B: Ya, yang elo tanyain terlalu receh sih.
Ibu C: Duh, masih mending, laki elo masih mau diajak gantian jaga anak kan? Laki gue cuek banget padahal gue udah capek ngurus anak dan rumah seharian.
Ibu A: Iya sih. Elo ngomong dong biar laki lo mau gantian. Iya kan?
Ibu B: Gue nggak ada laki, jadi nggak bisa relate hehe.
Apa yang kamu pikirkan ketika membaca percakapan di atas? Saya waktu itu memutuskan untuk tidak ikut campur dalam kekisruhan tersebut, tapi jadi menyadari kayaknya ada yang aneh dalam percakapan ibu-ibu ini. Merasa gagal berkomunikasi dengan pasangan, dan dalam sesi curhat lainnya ada juga yang merasa nggak nyambung sama anak. Loh kok bisa?

Photo by Lukas

Justru dengan orang terdekat malah gagal komunikasi. Bahkan antara ibu-ibu yang saling curhat ini juga kayaknya juga nggak nyambung deh sebenarnya. Apa yang hilang? Well, ini pelajaran yang saya dapatkan dari menyimak obrolan seru tadi.

Obrolin aja, nothing is too small

Ibu A adalah seorang ibu rumah tangga dengan 1 anak yang mau masuk SD. Berhenti bekerja sejak menikah dan dari awal juga bukan tipe wanita karir. Karena ibu rumah tangga, yang dicurhatin ya seputar anak nangis atau masakan. Receh kalau dibandingkan masalah cashflow bisnis atau pengembangan karir. Yakin receh? Atau kita yang bekerja mengejar karir dan financial freedom ini terlalu sombong?

Coba dibalik. Kalau anak yang curhat soal warna crayon atau makanan yang dia suka atau nggak suka, apakah saya sebagai ibu bekerja bisa mendengarkan sebaik ibu rumah tangga? Mungkin mereka yang lebih relate karena kita otomatis me-label topik tersebut sebagai receh. But, for immediate family, nothing is too small. Dan kalau receh aja nggak didengar, gimana mau cerita tentang hal besar?

Start with no expectations or communicate the expectations beforehand

Jangan ada ekspektasi ini gimana? Biasanya ekspektasi ini yang bikin kita kecewa.

Biar tidak kecewa, gimana kalau set ekspektasi dulu? Bahwa kita bingung trus berharap suami aja yang memilih kuenya. Atau, kalau suami bukan tipe yang detail dan hands on, ya masalah kue ini dilempar aja ke grup ibu-ibu arisan atau kalau anaknya sudah cukup besar, disuruh pilih sendiri.

Atau di kasus Ibu C, seorang ibu rumah tangga dengan 2 anak yang jaraknya cuma setahun. Komunikasikan kalau lelah dan ingin gantian mengurus anak. Mungkin hasilnya berbeda.

Coba berempati. Kalau tidak bisa, jangan judging. Selalu ingat bahwa setiap orang punya masalah

Kalau sedang menjadi tempat curhat, punya empati ini wajib. Kalau nggak, nanti yang ada akan seperti percakapan di atas. Yang curhat kena judge "curhatan receh."

Iya, curhat ke Ibu B kok tanggapannya gitu amat?

Soalnya yang dicurhatin lupa menempatkan diri di posisi yang curhat lalu menanggapi dengan keadaannya sendiri. Lalu yang curhat malah sakit hati dan tujuannya tidak tercapai. Setidaknya kalau ada seorang teman yang sudah mempercayakan curhatannya pada kita, coba berempati dan hindari judging.

Kalau kita yang curhat? Masa harus berempati juga?

Well, ‘empati’ yang dimaksud adalah memahami posisi orang yang dicurhatin, yang mungkin tidak memahami posisi kita saat ini. Seperti ibu B yang mungkin tidak bisa relate masalah per-suami-an karena dia single mom. Atau seperti ibu C yang ternyata sedang bermasalah juga, lalu yang ada malah mencibir karena "masalah saya tidak seberapa". Kan jadi kesal.

Tapi ini kan susah.

Ya memang siapa bilang gampang? Ini kan saya ngomong teorinya doang. Prakteknya juga sering gagal kok.

Comments

Popular Posts