Melihat Semua dari Dua Sisi, Termasuk Saat Jadi Ibu Tunggal

Kotbah kemarin di gereja saya melemparkan sebuah pemikiran yang cukup menarik dari bapak pendetanya.

“Selama ini kita berpikir setelah kabar buruk yang bertubi-tubi, ada kabar baik yang akan datang. Padahal sebenarnya kabar buruk dan kabar baik datangnya bersamaan. Tinggal kita saja, melihatnya yang mana.”

There are two sides to every coins. Tapi kalau dilempar dan jatuh, biasanya koin tersebut hanya akan menunjukkan satu sisi saja.

Photo by Miguel Á. Padriñán

Begitu juga dengan kebanyakan manusia. Kita melihat dan menilai sesuatu berdasarkan apa yang kita tahu. Salah? Nggak juga. Tapi kalau terus-terusan melihat sisi negatif dari semua kejadian, kita akan menganggap hidup ini sulit dan berat untuk bertahan. Lalu kita menanti-nantikan kabar baik yang tak kunjung datang karena kita lupa merubah perspektif, atau karena sudah terlalu lama tenggelam dalam kabar buruk, yang seharusnya baik pun tidak bisa terlihat sebagai hal positif.

Contoh paling gampang ya status saya sebagai seorang ibu tunggal.

Biasanya, ketika saya menyebutkan posisi saya ini, ada 3 reaksi utama yang saya temukan:
  • Positif: Kagum, Penasaran, dan seringkali menyebutkan kalau ibu atau seseorang di keluarga mereka adalah seorang single mom juga.
  • Netral: Ya udah informasi ini lewat begitu saja karena mereka kurang bisa relate atau merasa ini bukan sesuatu yang kontroversial
  • Negatif: Panik, khawatir, concern lalu ada was was karena takut salah ngomong atau terlalu banyak terpapar stigma negatif janda di luar sana.

Jadi gimana?

Saya pribadi tidak merasa jadi single mom ini berat, mungkin karena saya berpikirnya santai dan cenderung melihat hal-hal positif yang timbul karena status saya ini. Ketika saya dihadapkan dengan keadaan sebagai seorang single mom, saya melihatnya sebagai sebuah kabar baik.
Wah, saya punya anak, jadi ada temannya buat traveling!
Sementara kebanyakan mungkin melihat situasi ini sebagai tantangan, kalau nggak, ya musibah.
Membesarkan anak sendirian, biayanya dari mana?
Emangnya saya tidak mikirin biaya? Hm… ya mikirin sih. Tapi ya itu prioritas kesekian, setelah excitement bahwa anak bisa jadi teman traveling seru. 

Kan memang setiap berita ada kabar baik dan ada kabar buruknya juga, tergantung kita melihatnya dari mana.

Kalau orang lain khawatir tidak bisa membesarkan anak sendirian, menyalahkan si bapak yang 'kabur,' saya malah merasa beruntung karena sendirian. Semuanya terserah saya. Nggak perlu berantem atau kompromi. Ini sama juga ketika saya interview pekerjaan dan harus menjelaskan bagaimana saya bisa lembur sementara saya seorang ibu tunggal. Lah, justru karena saya ibu tunggal, saya jadi bisa lembur. Coba kalau ada suami, mungkin akan lebih sulit karena harus ijin dan permisi.

Perspective saya dan si HRD jelas berbeda.

Buat dia kabar buruk kalau sampai punya anak tanpa pasangan, dan pasti belum kebayang, makanya dia tanya. Buat saya justru kabar baik.

Gimana soal pelakor? Dan stigma negative yang kerap melekat di status janda? Kan susah itu melihat sisi baiknya. Oh, ya bisa dong. Kewaspadaan dan ketakutan orang bahwa janda bisa jadi pelakor adalah compliment. Bukti bahwa mereka takut sama status ini. Jadi merendahkan kalau kita beneran berstatus pelakor. Nah, itu memang pantas dicibir. Kalau kita hidup baik-baik saja ya ini adalah bukti bahwa kita disegani. Sama kayak Korea Utara punya rudal, punya nuklir. Disebut komunis dan banyak cibiran lainnya ya padahal semua orang takut sama nuklirnya. Korea Utaranya? Sampai sekarang lempeng-lempeng aja tuh.

Memang tidak gampang merubah perspektif. Tapi ya memang ada hal-hal yang otomatis terlihat sebagai negatif dan ada hal-hal yang langsung berkonotasi positif.

Tapi bagaimana kita melihat “untungnya” di situasi yang memang tidak enak? 

Pulang ke rumah yang berantakan setelah lelah bekerja seharian, sudah pasti emosi. Ada satu cara yang saya coba untuk mencari kebaikan di setiap situasi.

Dimulai dengan kabar buruk.
  • Kabar buruknya: rumah berantakan, saya lelah bekerja seharian di kantor
  • Kabar baiknya: saya masih punya rumah dan punya pekerjaan.
  • Kabar lebih baiknya lagi: emangnya saya harus beresin ini sekarang?

Hahahahahaa, nggak gitu ya?

Comments

Popular Posts