Belajar Jadi Mama Tidak Drama dari yang Lebih Muda
Dari dua orang muda berikut ini, saya belajar untuk tidak drama. Yang pertama adalah bos saya sekarang. Yang kedua adalah anak semata wayang saya, Dudu, yang tahun ini berusia 15 tahun dan sering melontarkan kalimat-kalimat mengejutkan.
Cerita Kantor:
Saya sering punya bos lebih muda. Di pekerjaan pertama saya, bos saya masih kuliah. Maklum, anak yang punya perusahaan. Tapi beda umur kami hanya 3 tahun, kalo ngobrol masih nyambung. Di pekerjaan sekarang, reporting manager saya jauh lebih muda. Hampir satu dekade. Lalu bagaimana? Awalnya pasti culture shock, beda Bahasa, beda gaya kerja dan yang pasti anak-anak muda ini kebanyakan masih menjadikan pekerjaan sebagai prioritas utama. Sementara kita yang mendekati 40 tahun sudah settle down dan berkeluarga.
Tapi dari reporting manager saya inilah, saya belajar hidup lebih efisien.
“Life is simple, don’t make it complicated.”
Terkadang saya yang besar di jaman orde lama ini kebanyakan basa-basi. Aduh nanti kalo A marah gimana, kalo B sedih gimana, kalo C bingung gimana. Kebanyakan memikirkan orang lain, lalu lupa bahwa diri sendiri punya tujuan. Reporting manager saya mengajarkan untuk fokus terhadap tujuan yang ingin kita capai. Banyak hal yang bisa jadi distraction dalam pekerjaan, dan tidak ada salahnya menjadi egois asal masih dalam batas kewajaran. Apalagi jika memikirkan orang lain menghabiskan energy dan membuat perjalanan kita jadi lebih sulit.
Ajaran ini saya terapkan juga dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai seorang ibu, yang namanya bisa ‘me time’ itu super langka. Apalagi saya working single mom yang waktunya habis untuk kerja cari uang, mengurus anak dan dua orang tua lansia di rumah. Waktu untuk diri sendiri jadi tidak ada. Kalaupun ada, pas diambil jadi merasa bersalah dan kepikiran rumah. Aduh, pusing.
Teringat kalimat yang pernah terucap dari bos saya (yang memang masih single dan tidak ada tanggungan), saya kemudian mencoba fokus ke tujuan saya semula: mau punya ‘me time’. Perasaan bersalah, khawatir dan lain sebagainya hanya complication yang membuat tujuan saya jadi sulit tercapai. Waktunya memang ada, jadi kenapa tidak dikerjakan? Simple kan? Kalau saya menjawab pertanyaan ini, berarti saya membuat hidup saya lebih rumit dengan mencari-cari sendiri alasan kenapa saya tidak bisa ‘me time’. Yang ujung-ujungnya jadi mengeluh dan negative.
Mau ‘me time’ ya ‘me time’, gitu aja kok repot.
Cerita Rumah:
Kalau sama bos di kantor, kita masih sama-sama “millennials”. Sama Dudu, sudah beda nama. Dudu masuk ke Generasi Z yang lahir tahun 1997 hingga awal 2010. Mengutip artikel di Pew Research, Gen Z ini lebih diverse, digital native (alias dari lahir sudah pegang gadget) dan lebih fleksibel dengan hal-hal yang dianggap tabu oleh orang tuanya. Misalnya, LGBT atau perceraian. Dudu, yang separo bule dan tinggal bersama saya yang single mom, juga bukan pengecualian.
Tapi dari Dudu, saya belajar menyamakan ekspektasi.
“Mungkin ekspektasi Mama yang terlalu tinggi.”
Begitu ucapan Dudu ketika saya complain untuk kesekian kali-nya kenapa Dudu tidak juara kelas, nilainya pas-pasan dan cenderung cuek dengan pelajarannya. Anak-anak Gen Z ini punya gaya tersendiri dan entah bagaimana pintar berargumentasi. Jaman saya sekolah dulu, mana berani saya melawan orang tua dengan bilang bahwa ekspektasi mereka ketinggian. Sekarang anak saya dengan tenangnya bisa mengucapkan kalimat yang bikin saya jadi mikir sendiri.
Emang iya?
Aduh, si Dudu nilainya jelek banget. Tapi naik kelas? Ya naik sih. Jelek semua? Ya, nggak juga sih. Nilai Bahasa dia Inggris dan Indonesia selalu di atas rata-rata. Science-nya juga tidak jelek. Mandarin sudah improve. Lalu yang parah tinggal Matematika dan Akuntansi, yang saya tahu dia juga belajar. Mengerjakan PR tidak pernah disuruh. Sekolah online pun tidak pernah terlambat. Lalu apa yang jadi drama? Memangnya ekspektasi saya apa?
Akhirnya, kalimat Dudu itu berlaku bukan hanya untuk sekolah. Tapi juga untuk pekerjaan dan berteman. Pernah saya marah-marah karena sahabat saya kembali ‘menghilang’ ketika punya pacar baru. Daripada drama menyindir-nyindir di sosmed, saya jadi berpikir bahwa ya memang ketinggian sih kalau saya berharap dia ada. Lha wong, memang tiap ada pacar dia jadi bucin dan lupa kalau ada orang lain di dunia ini.
Bukan berarti tidak boleh berekspektasi, tapi harapan itu harus masuk akal. Termasuk untuk diri sendiri. Kalau saya berharap jadi ibu serba bisa, yang punya waktu mengurus anak, sempat dandan, bisa masak dan berpenghasilan miliaran, kayaknya memang saya harus kembali menyesuaikan ekspektasi dengan yang menginjak bumi.
Cerita Kantor:
Saya sering punya bos lebih muda. Di pekerjaan pertama saya, bos saya masih kuliah. Maklum, anak yang punya perusahaan. Tapi beda umur kami hanya 3 tahun, kalo ngobrol masih nyambung. Di pekerjaan sekarang, reporting manager saya jauh lebih muda. Hampir satu dekade. Lalu bagaimana? Awalnya pasti culture shock, beda Bahasa, beda gaya kerja dan yang pasti anak-anak muda ini kebanyakan masih menjadikan pekerjaan sebagai prioritas utama. Sementara kita yang mendekati 40 tahun sudah settle down dan berkeluarga.
Tapi dari reporting manager saya inilah, saya belajar hidup lebih efisien.
“Life is simple, don’t make it complicated.”
Terkadang saya yang besar di jaman orde lama ini kebanyakan basa-basi. Aduh nanti kalo A marah gimana, kalo B sedih gimana, kalo C bingung gimana. Kebanyakan memikirkan orang lain, lalu lupa bahwa diri sendiri punya tujuan. Reporting manager saya mengajarkan untuk fokus terhadap tujuan yang ingin kita capai. Banyak hal yang bisa jadi distraction dalam pekerjaan, dan tidak ada salahnya menjadi egois asal masih dalam batas kewajaran. Apalagi jika memikirkan orang lain menghabiskan energy dan membuat perjalanan kita jadi lebih sulit.
Ajaran ini saya terapkan juga dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai seorang ibu, yang namanya bisa ‘me time’ itu super langka. Apalagi saya working single mom yang waktunya habis untuk kerja cari uang, mengurus anak dan dua orang tua lansia di rumah. Waktu untuk diri sendiri jadi tidak ada. Kalaupun ada, pas diambil jadi merasa bersalah dan kepikiran rumah. Aduh, pusing.
Teringat kalimat yang pernah terucap dari bos saya (yang memang masih single dan tidak ada tanggungan), saya kemudian mencoba fokus ke tujuan saya semula: mau punya ‘me time’. Perasaan bersalah, khawatir dan lain sebagainya hanya complication yang membuat tujuan saya jadi sulit tercapai. Waktunya memang ada, jadi kenapa tidak dikerjakan? Simple kan? Kalau saya menjawab pertanyaan ini, berarti saya membuat hidup saya lebih rumit dengan mencari-cari sendiri alasan kenapa saya tidak bisa ‘me time’. Yang ujung-ujungnya jadi mengeluh dan negative.
Mau ‘me time’ ya ‘me time’, gitu aja kok repot.
Cerita Rumah:
Kalau sama bos di kantor, kita masih sama-sama “millennials”. Sama Dudu, sudah beda nama. Dudu masuk ke Generasi Z yang lahir tahun 1997 hingga awal 2010. Mengutip artikel di Pew Research, Gen Z ini lebih diverse, digital native (alias dari lahir sudah pegang gadget) dan lebih fleksibel dengan hal-hal yang dianggap tabu oleh orang tuanya. Misalnya, LGBT atau perceraian. Dudu, yang separo bule dan tinggal bersama saya yang single mom, juga bukan pengecualian.
Tapi dari Dudu, saya belajar menyamakan ekspektasi.
“Mungkin ekspektasi Mama yang terlalu tinggi.”
Begitu ucapan Dudu ketika saya complain untuk kesekian kali-nya kenapa Dudu tidak juara kelas, nilainya pas-pasan dan cenderung cuek dengan pelajarannya. Anak-anak Gen Z ini punya gaya tersendiri dan entah bagaimana pintar berargumentasi. Jaman saya sekolah dulu, mana berani saya melawan orang tua dengan bilang bahwa ekspektasi mereka ketinggian. Sekarang anak saya dengan tenangnya bisa mengucapkan kalimat yang bikin saya jadi mikir sendiri.
Emang iya?
Aduh, si Dudu nilainya jelek banget. Tapi naik kelas? Ya naik sih. Jelek semua? Ya, nggak juga sih. Nilai Bahasa dia Inggris dan Indonesia selalu di atas rata-rata. Science-nya juga tidak jelek. Mandarin sudah improve. Lalu yang parah tinggal Matematika dan Akuntansi, yang saya tahu dia juga belajar. Mengerjakan PR tidak pernah disuruh. Sekolah online pun tidak pernah terlambat. Lalu apa yang jadi drama? Memangnya ekspektasi saya apa?
Akhirnya, kalimat Dudu itu berlaku bukan hanya untuk sekolah. Tapi juga untuk pekerjaan dan berteman. Pernah saya marah-marah karena sahabat saya kembali ‘menghilang’ ketika punya pacar baru. Daripada drama menyindir-nyindir di sosmed, saya jadi berpikir bahwa ya memang ketinggian sih kalau saya berharap dia ada. Lha wong, memang tiap ada pacar dia jadi bucin dan lupa kalau ada orang lain di dunia ini.
Bukan berarti tidak boleh berekspektasi, tapi harapan itu harus masuk akal. Termasuk untuk diri sendiri. Kalau saya berharap jadi ibu serba bisa, yang punya waktu mengurus anak, sempat dandan, bisa masak dan berpenghasilan miliaran, kayaknya memang saya harus kembali menyesuaikan ekspektasi dengan yang menginjak bumi.
Comments
Post a Comment