Kalau Bukan Buat Saya, Lalu Buat Apa?
Pernah bertanya seperti judul tulisan ini? Bahkan mereka yang people pleaser pun sebenarnya menyenangkan orang lain untuk menenangkan dirinya sendiri. Namanya juga manusia, ya egois.
Ada kalanya kita tidak menjadi pelaku utama, namun memiliki peran besar untuk suatu pencapaian. Misalnya, kita ‘hanya’ menjadi seorang sekretaris yang membantu merapikan data dan membuatkan jadwal. Namun, tanpa adanya peran itu, semuanya berantakan dan meeting-meeting penting bisa terlewatkan.
Foto: Freepik |
Ada yang pernah berdebat soal peran seorang ibu. Ceritanya, seorang anak laki-laki sharing cerita keberhasilan sang ibu membesarkan dirinya dan saudara-saudarinya, sampai harus mengorbankan mimpi serta karirnya. Si anak jelas berterima kasih, dan memuji bahwa ibunya berhasil, karena dirinya berhasil. Anak-anaknya tumbuh dengan baik dan menjadi orang-orang sukses. Si Ibu mungkin tidak jadi S2, tapi berhasil membawa anak-anaknya semua S2. Begitulah kira-kira ceritanya.
Namun, opini netijen terbagi dua.
Sebagian besar tidak setuju atas pujian si anak. Si ibu ini sampai mengorbankan mimpi, lho. Yang S2 kan anak-anaknya, bukan dirinya sendiri. Kasihan sekali si ibu, sampai akhir tidak bisa mendapatkan apa yang menjadi mimpinya. Benarkah begitu? Hal ini kemudian saya tanyakan ke diri saya sendiri yang seorang ibu, sebelum kemudian mengamati para ibu-ibu di sekitar saya.
Ketika anak saya lahir, saya juga “membuang” mimpi mau S2 dan tinggal di negara yang bukan Indonesia. Soalnya saya seorang single mom dan butuh support system keluarga. Pulang ke Indonesia, lalu cari kerja. Sibuk kerja cari uang sambil membesarkan anak, saya tidak lupa dengan mimpi S2. Tapi ya itu, prioritasnya berubah. Sama seperti cita-cita saya yang pengen jadi sniper kayak di Detektif Conan, lalu pupus saat mata saya ada silindernya. Saya merasa ketika saya jadi seorang ibu, ada banyak hal yang harus di-adjust ulang.
Opini netijen yang lain mengatakan bahwa apa yang diceritakan si anak di media sosial membuat mereka takut jadi ibu. Anak laki-laki ingin istri seperti ibunya. Anak perempuan takut untuk menjadi ibunya. Apakah bisa sekeren ibunya? Standarnya ketinggian.
Saya menyadari ada mimpi yang bisa ditunda, ada yang sebaiknya diikhlaskan saja. Namanya cita-cita bisa berubah karena keadaan dan pilihan. Teman saya yang punya cita-cita jadi ibu rumah tangga. Iya, di saat semua mau jadi pilot, dokter dan polisi, yang satu ini mau jadi seperti ibunya. Cita-citanya tercapai, namun ternyata tidak sesuai dengan harapan dan bayangannya. Dia menyesal dan bilang kalau waktu bisa diputar ulang, ingin jadi wanita karir dan tidak buru-buru menikah.
Kalau ditanyakan pada saya, apakah saya bangga jika anak saya sukses? Ya, bangga. Lega si anak bisa menemukan tempat di dunianya. Saya punya peran pendukung sebagai ibu yang tentunya memiliki pengaruh besar dalam kesuksesan anak saya. Bangga buat anak saya. Terus kalau saya dipuji-puji sebagai ibu yang berhasil, seperti netijen kebanyakan, saya merasa itu bukan achievement saya. Karena saya hanya pemeran pembantu. Yang sukses kan saya sebagai seorang ‘ibu’ bukan saya sebagai saya. Kalau mau bilang saya sukses, ya saya dong pemeran utamanya.
Well, sayangnya kesempatan jadi pemeran utama tidak melulu bisa diambil. Yang penting sekarang, bagaimana saya bisa tetap melakukan upaya mandiri yang berdampak bagi orang-orang di sekitar saya.
Comments
Post a Comment